Oleh: Arif Prasetyo Wibowo
Merdeka!!!
“Saudara-saudara sekalian, kita telah bersidang tiga hari lamanya, banyak pikiran telah dikemukakan, macam-macam, tetapi alangkah benarnya bahwa kita harus mencari persetujuan, mencari persetujuan faham. Kita bersama-sama mencari philosopische grondslag, mencari satu, “weltanschauung” yang kita semua sama setuju. ….. Saudara-saudara, apakah kelima prinsip itu? Pertama Kebangsaan Indonesia, kedua Internasionalisme atau Peri-Kemanusiaan, ketiga Mufakat atau Demokrasi, keempat Kesejahteraan sosial, dan kelima menyusun Indonesia Merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa”, merupakan penggalan pidato yang diucapkan oleh Bung Karno dihadapan sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan pada tanggal 1 Juni 1945 dan kemudian dinamakan “Lahir-nya Pancasila”.
Dari pidato diatas, nilai apakah yang bisa kita ambil dari salah seorang pendiri bangsa, pendiri negara yang sampai saat ini kita sebut Indonesia? Apakah yang melandasi Pancasila 1 Juni menjadikan Kebangsaan Indonesia sebagai dasar prinsip pertama yang menjadi landasan berdirinya Indonesia Merdeka? Bagaimanakah perkembangan Pancasila saat ini sebagai Ideologi, pandangan hidup, dan azas perjuangan dalam mencapai Indonesia Merdeka secara hakiki? Apa yang harus dipertahankan dan yang harus dikembangkan dalam membumikan Pancasila sebagai Ideologi, pandangan hidup, dan azas perjuangan dalam mencapai Indonesia Merdeka yang hakiki? Seperti apa dan bagaimana wujud dari kemerdekaan yang hakiki itu?
Nasionalisme atau Kebangsaan, merupakan jawaban mutlak bagaimana sejarah telah mencatat perkembangan bangsa Indonesia dalam tinta pena tuntutan zaman pada abad ke-20 waktu itu. Nasionalisme atau Kebangsaan ini timbul karena adanya keinginan, adanya perasaan se-nasib, dimana masyarakat waktu itu oleh Tuhan Yang Maha Esa telah diberikan suatu kodrat, telah diberikan suatu hal yang tidak bisa ditolak bahwa manusia-manusia Indonesia lahir dalam suatu wilayah yang terperangai oleh sebuah sistem kolonialisme dan imprealisme bangsa asing. Adanya satu kesusahan bersama dan adanya satu kesulitan bersama inilah yang menjadikan Pancasila 1 Juni menjadikan Kebangsaan sebagai dasar prinsip landasan berdirinya Indonesia Merdeka.
Para pendiri bangsa telah banyak belajar dari kekalahan-kekalahan perjuangan masa lampau, para pendiri bangsa telah mengevaluasi perjuangan-perjuangan untuk kedepan dalam mewujudkan Indonesia merdeka yang dikarenakan pada perjuangan-perjuangan yang lampau terjadi banyak sekali kelemahan-kelemahan yang harus dievalusasi dari strategi pergerakan, dimana musuh dapat menangkis setiap perlawan dimasa lampau dengan cara devide at impera.
Paham Kebangsaan atau Nasionalisme ini memang menjadi sebuah trend pada abad ke 19 dan 20, hal ini terjadi pula di Indonesia dalam melakukan perbaikan pergerakan kemerdekaan Indonesia yang mengarah pada persatuan dan kesatuan massa aksi, dimana masyarakat dalam melawan dan mendirikan bangunan Indonesia Merdeka diwadahi suatu azas prinsip perjuangan bersama dalam motor pergerakan kemerdekaan yang para pendiri bangsa lihat adalah Kebangsaan. Paham kebangsaan ini lah yang menjadi nyawa, menjadi dasar pokok, dan menjadi bentuk kekuatan rakyat dalam mendirikan bangunan Indonesia Merdeka yang tanpa L’exploitation de nation par nation dan L’exploitation de l’homme par l’homme (penghisapan negara atas negara dan penghisapan manusia atas manusia).
Seperti yang telah dijelaskan diatas, bisa kita lihat bahwasanya paham kebangsaan Indonesia ini adalah suatu azas dan cara perjuangan rakyat Indonesia ditengah-tengah masyarakat kolonial yang dikarenakan feodalisme dan kolonialisme adalah sumber penderitaan rakyat. Paham Kebangsaan ini lah yang membuat rakyat sadar bahwasanya ada satu hal yang membuat setiap individu manusia Indonesia mengerti adanya garis pembatas besar antara si “terjajah” dan si “penjajah” merupakan suatu hal yang sangat prinsipil bertentangan dan harus dihapuskan. Dari sini kita bisa melihat adanya satu hal yang menjadi ciri khusus dalam perjuangan dan perlawanan bangsa Indonesia secara keseluruhan dengan pihak belanda, atau dengan kata lain nasionalisme versus imperealisme.
Dalam pidato “Lahir-nya Pancasila”, Bung Karno mengatakan bahwasanya dalam sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai beliau merasa khawatir jikau dalam sidang tersebut banyak dari anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai yang mengurusi hal-hal kecil sampai “djelimet”. Menurut Bung Karno Merdeka adalah sebuah “jembatan”, “jembatan emas”. Setelah kemerdekaan diraih dengan secapatnya maka itu telah memerdekakan hatinya rakyat, memerdekakan nyawanya rakyat, dan setelah kemerdekaan itu diraih barulah dibentuk segala sesuatu yang kecil-kecil itu. Disini bisa kita lihat bagaimana salah seorang tokoh pendiri bangsa menjelaskan bagaimana definisi dari paham kebangsaan sebagai sebuah azas perjuangan.
Kebangsaan yang dimaksud bukanlah kebangsaan yang statis, bukan kebangsaan yang “ngelamun”, melainkan kebangsaan yang dinamis, yang dimaksud dinamis disini adalah setiap manusia Indonesia sadar betul bagaimana keadaan disekitarnya, bagaimana keadaan masyarakatnya, sehingga nasionalisme atau paham kebangsaan ini bersandarkan pada peri-kemanusiaan. Dengan adanya peri-kemanusiaan ini membuat paham nasionalisme atau kebangsaan Indonesia menjadi sebuah paham yang tidak bertujuan menghegemoni, tidak bertujuan menganggap bangsanya yang terbaik, melainkan bersama-sama mewujudkan susunan masyarakat baru, mewujudkan rasa kemerdekaan dalam meraih keadilan dan kesejahteraan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia bahkan dunia.
Bung Karno dalam Pidato “Lahir-nya Pancasila” menjelaskan, menurut Ernest Renan bangsa ialah “satu gerombolan manusia yang mau bersatu, yang merasa dirinya satu” dan syarat menjadi bangsa menurut Renan “adanya kehendak akan bersatu”. Selain Ernest Renan, Bung Karno mengutip juga pendapat yang diungkapkan oleh Otto Bouer “bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib”. Selanjutnya Bung Karno mendefinisikan bangsa Indonesia lebih luas lagi yaitu “seluruh manusia-manusia yang menurut geopolitik yang telah ditentukan oleh Tuhan Yang Maha Esa tinggal dikesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatera sampai ke Irian! Seluruhnya!”. Nasionalisme yang demikian itu oleh Bung Karno disebut Sosio-Nasionalisme.
Seperti yang sudah penulis terangkan diatas, Sosio-Nasionalisme merupakan azas perjuangan Kebangsaan yang bersandarkan pada Peri-Kemanusiaan. Sosio-Nasionalisme atau Nasionalisme Masyarakat adalah nasionalisme politik dan ekonomi yang tujuannya mencari kebebasan politik dan kebebasan ekonomi yang mengantarkan masyarakat ke arah masyarakat yang adil dan makmur bersih dari kapitalisme, imprealisme, dan kolonialisme. Sosio-Nasionalisme ini penjabaran alasan Pancasila 1 Juni menggunakan Kebangsaan Indonesia sebagai dasar pertama dalam memperoleh “alat sakti” Indonesia Merdeka.
Pada tanggal 1 Juni 1945 selain menerangkan dasar negara apa yang dipakai dalam membangun gedung Indonesia Merdeka Bung Karno dalam pidato-nya menjelaskan pula soal Sosio-Demokrasi, Dimana menurut Bung Karno Sosio-Demokrasi ini lahir atau timbul dari Sosio-Nasionalisme. Setelah persatuan dan kesatuan massa aksi telah terbentuk, setelah alat sakti “Indonesia Merdeka” telah diraih, maka kita telah melewati “jembatan emas” tadi. Soal Sosio-Demokrasi adalah soal politik ekonomi demokrasi yang lebih jelas dalam bentuk sistem ketatanegaraan, Sosio-Demokrasi menjelaskan bahwa demokrasi Indonesia bukanlah demokrasi barat, melainkan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi dengan kesejahteraan sosial atau yang Bung Karno bilang dalam bahasa Belanda sociale rechtvaardiheid.
Sosio-Demokrasi ini dibangun dalam parlemen-parlemen, sosio-demokrasi ini yang mengatur jalannya demokrasi politik dan demokrasi ekonomi, Sosio-Demokrasi ini pula lah yang akan mewujudkan keadilan sosial dalam sebuah dasar mufakat permusyawaratan. Bung Karno menerangkan lebih lanjut mengenai Sosio-Demokrasi bahwasanya “syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan”. Permusyawaratan perwakilan yang dimaksud disini bukan lah permusyawaratan yang satu golongan, permusyawaratan yang dimaksud disini bukan lah permusyawaratan yang untuk menghasilkan kemelaratan rakyat bertambah berat, permusyawaratan yang dimaksud oleh Bung Karno disini adalah suatu permusyawaratan yang mengantarkan rakyat dalam mencapai kesejahteraan dan kemakmuran, suatu permusyawaratan melalui perwakilan yang semua buat semua. Dari Sosio-Demokrasi ini lah yang membuat Bung Karno memberikan prinsip Permusyawaratan atau Demokrasi sebagai Prinsip dasar negara yang ke-3 dalam pidato “Lahir-nya Pancasila”.
Prinsip ke-3 sudah penulis terangkan, sekarang prinsip yang ke-4 adalah kesejahteraan sosial. Prinsip kesejahteraan sosial ini masuk pula kedalam Sosio-Demokrasi dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, prinsip kesejahteraan sosial disini Bung karno katakan adalah sebuah prinsip yang “tidak ada kemiskinan didalam Indonesia Merdeka” dengan kata lain anti-kemiskinan. Melalui permusyawaratan dengan paham kesejahteraan ini setiap orang memiliki hak yang sama dalam politik demokrasi, setiap orang mengusulkan ide dan gagasanya dalam permusyawaratan perwakilan. Permusyawaratan yang dibentuk atau adapun bukan suatu permusyawaratannya para golongan, permusyawaratan yang dibentuk atau adapun bukan permusyawaratannya kaum pemodal atau kapital, permusyawaratan yang dibentuk atau adapun tidak hanya politik demokrasi saja, melaikan permusyawatan perwakilan tersebut harus mampu mendirikan suatu politik ekonomi demokrasi yang mampu membuat masyarakat hidup dalam berkecukupan dalam ekonomi.
Cara berpikir tentang paham kesejahteraan sosial ini diambil Bung Karno dari kepercayaan masyarakat Indonesia tentang datangnya “Ratu adil”, adalah seorang yang kelak membawa masyarakat kearah kemakmuran hidup yang anti kemiskinan. Sebuah kepercayaan yang memberi suatu ketenangan didalam jiwa masyarakat Indonesia tentang datangnya kesejahteraan lahiriah dan batiniah, tetapi nyatanya kesejahteraan tidak dapat ditunggu dan tidak boleh ditunggu yang oleh karenanya melawan kodrat. Dari sini bisa kita pahami mengapa prinsip kesejahteraan sosial masuk dalam sila ke-4 yang harus sama-sama kita perjuang kan, sehingga sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi menuntut adanya suatu gerakan, suatu usaha, suatu kerja dalam mewujudkan masyarakat adil dan makmur tanpa kapitalisme, imprealisme, dan kolonialisme.
Empat prinsip telah penulis terangkan, dan prinsip yang terakhir adalah prinsip Ketuhanan yang berkebudayaan. Bung Karno menjelaskan dalam pidatonya 1 Juni 1945 bahwasanya “masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. ….. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhanya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada egoisme agama, dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang bertuhan!”. Bung Karno dalam prinsip Ketuhanan yang berkebudayaan disini menggaris bawahi adanya suatu nilai Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuhanan yang berkebudayaan adalah dimana ketika manusia Indonesia telah mempercayai dan mengamalkan ajaran setiap agamanya maka akan lahirlah manusia Indonesia yang berkeadaban. Manusia yang berkeadaban ini memiliki ciri utama, yaitu toleransi atau yang Bung Karno bilang dalam bahasa belanda verdraagzaamheid.
Dalam prinsip Ketuhanan yang berkebudayaan, Bung Karno mengetahui betul bagaimana kondisi pertentangan pada waktu itu. Secara history manusia Indonesia memang betul telah memiliki kepercayaan batiniah yang kita kenal dengan ajaran animisme dan dinamisme, zaman berganti dan nilai-nilai pun mengalami akulturasi bahkan terhapus. Dinamisme dan animisme berganti nama sesuai dengan kebutuhan batin setiap manusia Indonesia, tetapi ada satu hal yang perlu disadari bahwasanya setiap agama mempercayai adanya suatu hal yang terkuat dalam pembentukan dan pengaturan tatakehidupan manusia di dunia. Setiap agama yang dipercayai manusia Indonesia adalah merupakan kumpulan nilai-nilai kebaikan yang bersifat universal, kebaikannya bisa dinikmati oleh semua orang, kebaikannya merupakan sebuah nilai yang dihasilkan dari hasil keinsyafan manusia Indonesia yang meyakini betul nilai-nilai kebaikan didalam setiap agamanya. Kebaikan yang penulis maksud bukan kebaikan yang fanatisme, bukan kebaikan yang kebaikannya tidak dirasa baik oleh semua, kebaikannya tidak bisa dinikmati oleh kelompok-kelompok kecil, kebaikan yang penulis maksud disini adalah kebaikan yang dimana setiap manusia Indonesia merasa merdeka tanpa ada rasa ketakutan dalam melaksanakan suatu peribadatan keyakinan.
Kelima Prinsip didalam Pancasila 1 Juni telah penulis terangkan sebagai ideologi, pandangan hidup, dan azas perjuangan, Pancasila 1 Juni pun menurut Bung Karno bisa diperas menjadi Tri Sila yaitu Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi dan Ketuhanan yang berkebudayaan pun sudah penulis terangkan diatas. Namun bila Tri-Sila masih terlalu banyak dalam penyebutannya, Bung Karno berkata dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia “Tetapi barang kali tidak semua tuan-tuan senang kepada Tri Sila ini, dan minta satu, satu dasar saja? Baiklah, saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu, Apakah yang satu itu? ….. yaitu perkataan Gotong-Royong”. Menurut Bung Karno, Gotong-Royong adalah faham yang dinamis, lebih dinamis dari “Kekeluargaan”. Gotong-Royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, suatu pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama dalam memperoleh alat sakti “Indonesia Merdeka” dan mewujudkan suatu tatanan masyarakat baru yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Dari uraian panjang diatas dapatlah sekarang kita mengambil suatu kesimpulan, bahwasanya Pancasila 1 Juni 1945 memiliki ke khas-nya tersendiri, yaitu Pan-nasionalisme yang begitu kental dan menjadi prinsip utama dalam memperoleh alat sakti “Indonesia Merdeka”. Melihat Pancasila 1 Juni janganlah melihat dengan “kacamata kuda”, kita harus mengetahui bagaimana kondisi sosial pada zaman kolonialisme yang dengan nyata dicatat oleh sejarah bahwasanya masyarakat Indonesia waktu itu hidup susah menderita dalam sebuah sistem penjajahan. Pancasila 1 Juni merupakan cara perjuangan yang sama sekali tidak mendua, tiga, empat, lima kan Prinsip dari kelima sila yang terkandung dalam Pancasila 1 Juni. Pancasila 1 Juni merupakan suatu cara berpikir dan berjuang ketika perlawanan masyarakat Indonesia dengan mudah ditepis oleh kaum imprealis dengan devide at impera. Pancasila 1 Juni memberikan kita sebuah arti penting kesatuan gerak massa aksi dalam mewujudkan masyarakat adil dan makmur tanpa kolonialisme, kapitalisme, dan imprealisme bangsa asing.
Pancasila 1 Juni membuat kita sadar, bahwasanya nasionalisme bukan sebuah paham yang reaksioner, bukan sebuah paham yang bisa datang dan bisa pergi sesuai kebutuhan, bukan sebuah paham yang “ada” jikalau Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam keadaan genting, Pancasila 1 Juni adalah sebuah jawaban atas perkembangan zaman yang sampai saat ini masih dirasa perlu pemahaman, penghayatan dan pengamalanya secara mendalam. Pancasila 1 Juni telah melewati “jembatan emas”, Indonesia telah merdeka, namun para pendiri bangsa belum mengikhlas kan kita para generasi penerus untuk diam dan tenang. Pancasila 1 Juni menuntut perjuangan, perjuangan, dan sekali lagi perjuangan! Agar lantas mempercepat datangnya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.